1. Teacher-centered learning
Dalam pendekatan ini, perencanaan dan penginstruksian sangat dibutuhkan dan guru dapat langsung mengajari muridnya. Pada teacher centered learning, belajar merupakan proses menerima pengetahuan, dimana siswa bersifat pasif reseptif. Teacher Centered Learning sering dinamakan pengajaran.
1.1 Teacher-centered Lesson Planning
Teacher-centered planning meliputi menciptakan behavioral objectives, analyzing tasks, dan pengembangan taksonomi instruksional.
1.1.1 Behavioral objectives adalah pernyataan bahwa komunikasi bertujuan untuk mengubah perilaku siswa untuk mencapai tingkat yang diinginkan. Menurut Robert Mager (Santrock, 2001), behavioral objectives harus sangat spesifik dn komunikasinya jelas. Mager percaya bahwa behavioral objectives mempunyai tiga bagian, yaitu:
· Perilaku siswa, berfokus pada siswa akan belajar atau berperilaku, mendeskripsikan aktivitas dalam perilaku yang diobservasi.
· Kondisi dimana perilaku akan terjadi, mengungkapkan bagaimana perilaku dapat dievaluasi atau diujikan.
· Kriteria penampilan, mengukur apakah tingkat penampilan diterima.
1.1.2 Task analysis yang berfokus pada memecahkan masalah yang kompleks agar murid belajar dalam bagian-bagian kecil.
1.1.3 Taksonomi instruksional. Taksonomi adalah klasifikasi sistem. Taksonomi Bloom dikembangkan oleh Benjamin Bloom dan koleganya, berfokus pada objek pendidikan dalam tiga bagian utama, yaitu kognitif, afektif dan psikomotor (Santrock, 2001).
Bagian kognitif mempunyai enam objek yaitu:
· Knowledge. Siswa mampu mengingat suatu informasi
· Comprehension. Siswa mengerti informasi dan dapat menjelaskan dalam kata-kata mereka sendiri.
· Application. Siswa menggunakan pengetahuan untuk menyelesaikan masalah hidup sehari-hari.
· Analysis. Siswa memecahkan masalah kompleks menjadi mudah dan menghubungkan informasi yang satu dengan yang lain.
· Synthesis. Siswa mengkombinasi elemen dan menciptakan informasi baru.
· Evaluation. Siswa mampu membuat evaluasi dan keputusan yang baik.
Dalam Bloom 2001 (Woolfolk, 2004),ditambahkan lagi proses pencapaian empat jenis pengetahuan,yaitu factual, conceptual, procedural, dan metacognitive.
Pada level afektif yang rendah, murid akan menyimpan ide-idenya, sedangkan pada level yang lebih tinggi, murid akan mengadaptasi ide atau nilai dan berperilaku dengan nilai tersebut. Bagian afektif mempunyai lima objek yang berhubungan dengan tugas respon emosi, yaitu:
· Receiving. Murid mampu berhati-hati atau memberi perhatian lebih pada lingkungan.
· Responding. Murid menjadi termotivasi untuk belajar dan menunjukkan perilaku baru sebagai hasil dari pengalaman.
· Valuing. Murid terlibat dalam beberapa pengalaman.
· Organizing. Murid mengorganisir nilai tertentu dan menginternalisasikan nilai menjadi bagian dalam dirinya.
· Value characterizing. Murid menjadikan nilai tersebut sebagai nilai dalam dirinya sendiri.
Bagian psikomotor berhubungan dengan aktivitas motorik dengan pendidikan fisik dan atletik, tetapi subyek lain seperti menulis termasuk dalam gerakan. Objek psikomotor Bloom meliputi:
· Reflex movements. Murid merespon gerakan tidak disadari dari stimulus.
· Basic fundamentals. Murid membuat dasar gerakan yang disadari yang bertujuan.
· Perceptual abilities. Murid menggunakan alat yang melibatkan persepsi.
· Physical abilities. Murid mengembangkan kemampuan umum.
· Skilled movements. Murid menunjukkan kemampuan fisik yang kompleks.
· Nondiscussive. Murid bisa mengkomunikasikan sesuatu melalui gerakan tubuh.
1.2 Teacher-centered Instructional Strategies
1.2.1 Orienting
Bangun dasar dari pelajaran materi baru sebelum menjelaskan materi baru tersebut (Santrock, 2001).
1.2.2 Lecturing, Explaining dan Demonstrating
Lecturing, explaining dan demonstrating adalah aktivitas guru yang digunakan dalam pendekatan instruksional langsung. Penelitian telah menemukan bahwa guru yang efektif membuang banyak waktu untuk menjelaskan dan mendemonstrasikan materi baru daripada guru yang tidak efektif.
1.2.3 Questioning dan Discussing
Penggunaan strategi ini sangat penting dalam mencari tahu respon kebutuhan belajar setiap murid ketika berada pada perhatian dan ketertarikan kelompok. Pola pengajaran dari guru meliputi initiation (guru menanyakan pertanyaan), response (murid menjawab), dan reaction (pujian, pembetulan dan perluasan). Pola pengajaran tersebut akan efektif jika dilakukan berulang-ulang (Woolfolk, 2004).
Dalam diskusi, murid dapat secara langsung terlibat dan mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi. Diskusi membantu murid belajar mengekspresikan diri lebih jelas, menimbang saran, dan mentoleransi pandangan yang berbeda. Diskusi juga memberi murid kesempatan untuk menanyakan klarifikasi, menguji pemikiran, mengikuti ketetarikan personal, dan mendapat tanggung jawab dengan menjadi pemimpin dalam kelompok.
1.2.4 Mastery Learning
Mastery Learning meliputi pembelajaran satu konsep atau topik melalui pembelajaran sebelumnya yang lebih sulit. Beberapa peneliti mengindikasi mastery learning efektif ketika murid menghabiskan waktu untuk membuat tugas.
1.2.5 Seatwork
Seatwork mengarah pada latihan atau keutamaan murid belajar independent di bangku mereka masing-masing. Pusat pembelajaran merupakan alternatif yang baik dalam penggunaaan paper and pencil seatwork.
1.2.6 Homework
Instruksi penting lain meliputi seberapa sering dan tipe dari homework yang diberikan kepada murid. Murid Asia lebih banyak menghabiskan waktu untuk melakukan homework daripada murid Amerika.
2. Student/ learner-centered learning
Pada student centered learning, siswa mencari dan mengkonstruksi pengetahuan lewat berbagai strategi, dimana siswa bersifat aktif spesifik. Student centered learning sering dinamakan pembelajaran. Aktivitas belajar berpusat pada siswa dalam bentuk diskusi, mengerjakan tugas bersama, saling membantu dan saling mendukung dalam memecahkan masalah. Melalui interaksi belajar yang efektif siswa lebih termotivasi, percaya diri, mampu menggunakan strategi berpikir tingkat tinggi, serta mampu membangun hubungan interpersonal.
Student centered lerning memusatkan perencanaan, pengajaran dan penilaian semuanya berdasarkan pada kemampuan dan kebutuhan siswa. Intinya bahwa proses belajar akan sangat berarti apabila siswa merasa tertarik dan senang dengan materi yang sedang ia pelajari. Siswa akan merasa termotivasi apabila mereka dilibatkan dalam setiap proses pembelajaran dan pengajaran, pemilihan topik sampai pada penilaian.
2.1 Learner-centered Instructional Strategies
· Problem-based Learning
Problem-based Learning mengutamakan pemecahan masalah sehari-hari. Murid mengidentifikasi isu yang akan mereka eksplorasi, dan yang perlu mereka selesaikan. Guru hanya bertindak sebagai pembimbing, membantu murid dengan memantau usaha mereka untuk menyelesaikan masalah.
· Essential Questions
Essential Questions adalah pertanyaan yang merefleksikan hal yang penting dari kurikulum, hal yang penting yang dipercaya murid akan dapat dieksplorasi dan dipelajari (Santrock, 2001).
· Discovery Learning
Discovery Learning adalah pembelajaran dimana murid membuat pemahaman mereka sendiri. Dalam Discovery Learning, murid harus bereksplorasi sendiri. Menurut Dewey dan Bruner (Santrock, 2001), Discovery Learning menyemangati murid untulk berpikir sendiri dan menemukan bagaimana pengetahuan dibangun. Sebagai guru yang mulai menggunakan Discovery Learning, mereka akan menemukan bahwa hal tersebut efektif dalam pendekatan instruksi sistematis yang perlu dimodifikasi, yang akan mengembangkan guided discovery learning. Guided discovery learning adalah ketika murid masih mendapat dukungan akan pembangungan pengertian, tetapi masih dengan pengarahan pertanyaan dan arahan dari guru.
Berikut ini adalah perbedaan antara teacher centered learning dan student centered learning:
Teacher Centered Learning | Student Centered Learning |
1. Transfer pengetahuan dari dosen ke mahasiswa. | 1. Mahasiswa aktif mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan yang dipelajari. |
2. Mahasiwa menerima pengetahuan secara pasif. | 2. Mahasiswa aktif terlibat dalam mengelola pengetahuan. |
3. Lebih menekankan pada penguasaan materi. | 3. Tidak terfokus hanya pada pengetahuan tetapi juga mengembangkan sikap belajar (life long learning). |
4. Single media. | 4. Multimedia. |
5. Fungsi dosen pemberi informasi utama dan evaluator. | 5. Fungsi dosen sebagai motivator, fasilitator, dan evaluator. |
6. Proses pembelajaran dan penilaian dilakukan terpisah. | 6. Proses pembelajaran dan penilaian berkesinambungan dan terorganisasi. |
7. Menekankan pada jawaban yang benar saja. | 7. Penekanan pada proses pengembangan pengetahuan. Kesalahan dapat digunakan sebagai sumber belajar. |
8. Sesuai dengan pengembangan ilmu dalam satu disiplin saja. | 8. Sesuai dengan pengembangan ilmu dengan pendekatan interdisipliner |
9. Iklim belajar individual dan kompetitif. | 9. Iklim yang dikembangkan bersifat kolaboratif, supportif, dan kooperatif. |
10. Perkuliahan merupakan bagian terbesar dalam proses pembelajaran. | 10. Mahasiswa melakukan pembelajaran dengan berbagai model dengan SCL |
11. Penekanan pada tuntasnya materi pembelajaran. | 11. Penekanan pada pencapaian kompetensi mahasiswa. |
12. Penekana pada bagaimana cara dosen melakukan pengajaran. | 12. Penekanan pada cara mahasiswa melakukan pembelajaran. |
13. Penekanan pada penguasaan hard skill mahasiswa. | 13. Penekanan pada penguasaan hard skill dann soft skill mahasiswa. |
Tugas dosen/guru dalam student centered learning:
- Memfasilitasi:
Buku, modul ajar, hand-out, jurnal, hasil penelitian,dan waktu.
- Memotivasi:
• Dengan memberi perhatian pada mahasiswa.
• Memberi materi yang relevan dengan tingkat kemampuan mahasiswa dan dengan situasi yang kontektual.
• Memberi semangat dan kepercayaan pada mahasiswa bahwa ia dapat mencapai kompetensi yang diharapkan.
• Memberi kepuasan pada mahasiswa terhadap pembelajaran yang kita jalankan.
- Memberi tutorial:
Menunjukkan jalan/ cara/ metode yang dapat membantu mahasiswa menelusuri dan menemukan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan materi pembelajaran.
- Memberi umpan balik:
Memonitor dan mengkoreksi jalan pikiran/ hasil kinerjanya agar mencapai sasaran yang optimum sesuai kemampuannya.
Kelebihan student centered learning
Ada beberapa kelebihan student centered leaning bila dibandingkan dengan metode konvensional (teacher centered learning) kelebihan itu adalah sebagai berikut:
1. Mengefektifkan proses pembelajaran
Dengan pembelajaran yang berpusat kepada peserta didik, mereka akan bertanggungjawab pada dirinya sendiri dalam mencapai tujuan pembelajarannya. Sehingga mereka akan lebih cepat dalam menerima dan memahami sesuatu dengan proaktif dalam belajar.
2. Memperkuat daya ingatan siswa
Ketika siswa dituntut untuk aktif dalam proses belajarnya, dalam artian tidak lagi hanya terpusat pada guru, mereka akan lebih kuat daya ingatannya. Karena mereka mendapatkan ilmu secara langsung untuk dipraktekkan, dalam arti tidak hanya sekedar mendengarkan dari satu sumber.
3. Mengikis rasa bosan siswa
Rasa bosan akan timbul ketika mahasiswa tidak dianggap ada di dalam kelas. Mereka hanya dijadikan objek pendengar yang setia dari ceramah guru. Akibatnya siswa akan merasa bosan dan akan juga mempengaruhi keinginannya untuk terus giat dalam menggali ilmu.
4. Memberikan rasa percaya diri bagi mereka yang mempunyai kekurangan dalam akademis
SCL memberikan kesempatan pada siapapun untuk proaktif dalam proses belajar mengajar. Tidak ada tekanan yang dapat memutuskan bahwa pendapat ini benar dan pendapat itu salah. Karena yang terlibat dalam diskusi tersebut mereka sendiri yaitu semua siswa. Jadi bagi mereka yang selama ini jarang berpartisipasi dalam kegiatan KBM akan merasa lebih percaya diri dalam mengikutinya.
REFLEKSI PADA MASA SD
Metode pengajaran teacher centered dan learner centered memiliki perbedaan karakteristik. Dalam metode pengajaran teacher centered, fokus kepada guru yang mengajar. dalam metode ini, gurulah yang mengontrol dan mengarahkan semua kegiatan yang dilakukan dalam proses belajar mengajar. Sedangkan dalam metode pengajaran learner centered, fokus ada pada murid, dimana murid dapat lebih aktif, kreatif, dan mendiri dalam proses belajar mengajar yang dilakukan.
Ketika saya duduk di bangku SD (Sekolah Dasar), metode pengajaran yang saya dapat kebanyakan adalah metode pengajaran teacher centered. Anak SD terutama untuk kelas satu sampai dengan kelas empat masih sangat membutuhkan bimbingan dari guru dalam setiap pembelajaran seperti berbahasa Indonesia, cara menulis yang benar, terlebih lagi dalam pelajaran berhitung. Metode pengajaran teacher centered merupakan metode pengajaran yang tepat jika dipakai dalam proses belajar mengajar pada anak SD.
Ketika duduk di bangku kelas lima dan enam saya mulai merasakan adanya metode pengajaran learner centered. Metode pengajaran ini saya rasakan terutama dalam pelajaran matematika, IPS, dan IPA. Dalam pelajaran metematika, guru sering memberikan latihan soal kepada siswa dan soal-soal tersebut harus dikerjakan di papan tulis. Hal ini saya rasakan cukup karena hal ini dapat memacu kratifitas dan kemandirian siswa dalam mengerjakan soal matematika. Dalam mata pelajaran IPS, guru akan mengadakan Tanya jawab kepada para siswa mengenai ibukota-ibukota Negara. Hal ini membuat para siswa menjadi lebih cepat menghafal ibukota-ibukota Negara sehingga sangat membantu ketika belajar menghadapi ulangan. Sedangkan dalam pelajaran IPA, terdapat praktikum-praktikum yang dilakukan. Siswa harus dapat mengeluarkan ide-ide kreatifnya dalam pembuatan lampu dari bohlam kecil dan batu baterai yang dihubungkan dengan kabel-kabel. Hal ini meningkatkan rasa ingin tahu siswa dan kreatifitas siswa.
Kesimpulan dari pengalaman yang saya dapat selama duduk di SD adalah metode pengajaran teacher centered lebih berguna untuk anak yang duduk di kelas satu sampai kelas empat SD karena mereka masih sangat membutuhkan bimbingan dari gurunya, sedengkan untuk anak kelas lima dan enam SD, rasa ingin tahu anak mulai besar dan kreatifitasnya mulai berkembang. Untuk itu metode pengajaran learner centered lebih cocok digunakan agar mereka dapat berkembang dengan sendirinya dan menjadi mendiri sedikit demi sedikit tentunya tidak dilepas sama sekali oleh gurunya.
REFLEKSI PADA MASA SMP
Terdapat dua model perencanaan dalam mengajar dikelas, yaitu teacher-centered dan learner-centered. Ketika saya berada di tingkat SLTP, hampir semua guru yang mengajar menggunakan teacher-centered. Setiap materi yang akan dipelajari dijelaskan satu persatu oleh pengajarnya, kemudian tugas pun tidak memacu murid mencari pengetahuan tambahan dari sumber lain, biasanya hanya berkisar antara bab-bab yang ada di buku pegangan utama saja. Untuk pelajaran hitungan, seperti matematika atau fisika, murid seperti saya yang sangat tidak menyukai hitung-hitungan sangat terbantu dengan pendekatan yang berpusat pada pengajar ini, karena murid tidak dituntut untuk membaca dan memahaminya terlebih dahulu di rumah. Saya mengatakan terbantu karena murid seperti saya jika diminta untuk mempelajari konsep-konsep tersebut akan langsung memiliki bayangan buruk akan materi tersebut karena dasarnya pun belum kuat. Maka, dengan pengajaran yang bersifat ‘disuapi’ pengajar sangat membantu dan mengurangi kesan jelek yang diakibatkan pengalaman sebelumnya mempelajarinya sendiri.
Namun untuk pelajaran yang cukup mudah dipahami seperti sejarah, PPKN, tata negara, dan pelajaran sosial lain, sangatlah baik jika pengajar menggunakan pendekatan learner-centered. Dengan pendekatan yang berfokus pada murid, murid dituntut aktif dan tidak hanya menerima saja, pemberian tugas yang membuat murid harus berdiskusi serta mencari penerapan realita sebenarnya dalam kehidupan dapat membantu murid lebih mengingat materi yang sedang dipelajari. Pendekatan yang berfokus pada pengajar untuk mata pelajaran seperti ini sangat tidak tepat menurut saya karena berdasarkan pengalaman, pelajaran tersebut menjadi sangat membosankan, selain karena hanya mendengarkan saja, kemampuan guru yang tidak terlalu menguasai materi juga memengaruhi kualitas murid.
Tentu saja saya berpendapat bahwa gabungan dari dua pendekatan ini adalah cara yang terbaik untuk mengajar. Pendekatan teacher-centered saja membuat kelas tidak menarik dan membatasi potensi murid mendapatkan wawasan lebih luas, sedangkan pendekatan learner-centered saja tanpa ada bimbingan di awal mengenai materi yang hendak dikuasai murid juga tidak baik, karena tanpa adanya pengarahan terlebih dahulu, murid bisa berada dalam posisi “confused” (kebingungan) terhadap konsep yang akan dikembangkan.
STRUKTUR PROGRAM PENGAJARAN UNTUK SMA
Berikut ini ialah program pengajaran untuk siswa SMA
Mata pelajaran yang harus dijalani untuk kelas X yaitu:
Pendidikan Agama, kewarganegaraan/ sos, bahasa dan sastra Indonesia, bahasa Inggris, |
Matematika, kesenian, pendidikan jasmani, sejarah/ geografi, ekonomi, fisika, kimia, biologi, teknologi informasi dan komputer, kenusantaraan/ KP, bela negara, dan BP/ BK. Mata pelajaran yang harus dijalani untuk kelas XI Ilmu Alam yaitu: Pendidikan agama, kewarganegaraan, bahasa dan sastra Indonesia, bahasa Inggris, matematika, kesenian, pendidikan jasmani, sejarah/ geografi, fisika, teknologi informasi dan komputer, kenusantaraan, dan BP/ BK. Mata pelajaran yang harus dijalani untuk kelas XII Sosial yaitu: Pendidikan agama, kewarganegaraan, bahasa dan sastra Indonesia, bahasa Inggris, matematika, kesenian, pendidikan jasmani, sejarah/ geografi, fisika, ekonomi, sosiologi, teknologi informasi dan komputer, kenusantaraan, dan BP/ BK. |
Mata pelajaran yang harus dijalani untuk kelas III IPA yaitu:
PPKn, pendidikan agama, bahasa dan sastra Indonesia, sejarah nasional dan sejarah umum, bahasa Inggris, penjaskes, matematika, fisika, biologi, kimia, BP, kenusantaraan dan kepemimpinan.
Mata pelajaran yang harus dijalani untuk kelas III IPS yaitu:
PPKn, pendidikan agama, bahasa dan sastra Indonesia, sejarah nasional dan sejarah umum, bahasa Inggris, penjaskes, matematika, ekonomi, sosiologi, tata negara, BP, kenusantaraan dan kepemimpinan.
REFLEKSI PADA MASA SMA
Pada tahun 2003 – 2006 adalah saat dimana saya sedang mengenyam pendidikian dibangku SMA. Saya bersekolah di salah satu sekolah swasta di Kota Bogor, pada tiap tingkatan kelas terdapat masing-masing 4 kelas, dan penjurusan dimulai saat kami naik ke kelas 2 SMA. Pada awal kelas 2 SMA, saya tidak terlalu sulit untuk mengikuti pelajaran karena metode yang digunakan tidak jauh berbeda dari tingkat SMP, yaitu teacher centered, hal ini berlangsung selama kurang lebih 1 tahun, sedangkan pada saat saya naik kelas 2 SMA, saya agak terkejut dengan perubahan sistem belajar yang lebih menekankan pada Si Murid, yang sekarang saya kenal dengan istilah student centered dan hal ini terus berlangsung hingga saya lulus SMA di sekolah tersebut.
Perbedaan sistem pengajaran yang diberlakukan saat itu mungkin untuk kemajuan pendidikan anak-anak yang sudah pemerintah pertimbangkan, tapi alangkah baiknya bila anak-anak yang akan menerima sistem baru tersebut dipersiapkan terlebih dahulu untuk menghadapi perubahan itu, karena perubahan tetaplah suatu perubahan dan belum tentu semua anak dapat beradaptasi dengan cepat, mungkin yang terjadi adalah karena si anak membutuhkan proses yang cukup lama untuk beradaptasi dengan sistem yang baru dan guru yang “kejar target” malah membuat si anak menurun dalam prestasi sekolah.
Puji Tuhan-nya adalah walaupun saya termasuk murid yang cukup sulit beradaptasi dengan lingkungan maupun kurikulum yang baru, tapi saya masih dapat mengatasi itu dengan sangat baik, tentunya dengan bantuan guru-guru dan teman-teman. Dan pada saat saya mulai mengenyam pendidikan di bangku kuliah, kurikulum yang saya hadapi tidak jauh berbeda dengan kurikulum yang saya hadapi saat saya masih SMA, hanya saja di universitas saya memiliki kebebasan penuh memilih untuk ikut bekerjasama dengan dosen atau mengikuti ego saya yang sangat moody.
Keuntungan yang saya sangat rasakan adalah walaupun saat SMA (saat perpindahan dari kurikulum lama ke kurikulum baru) saya merasa sedikit terbengkalai, tapi sekarang saya rasakan itu adalah suatu pembelajaran yang dapati untuk menempuh perkuliahan yang ternyata walaupun dengan kurikulum yang sama tapi sangat dibutuhkan tanggungjawab yang luar biasa. Selain itu dengan sistem student centered, saya diajar untuk lebih mandiri dalam belajar dan secara tidak langsung wawasan saya jauh lebih luas karena saya mau tidak mau harus berkutik dengan buku-buku di perpustakaan, jurnal-jurnal, maupun dengan internet demi untuk mencari bahan-bahan dari materi perkuliahan yang akan dibahas ataupun mendalami materi perkuliahan lebih dalam lagi.
Tidak hanya itu, dengan student centered, saya juga diajarkan untuk lebih percaya diri, karena dalam masa perkuliahan ini, hampir setiap mata kuliah, dosennya tidak pernah absen untuk mengadakan presentasi kelompok, dan hal tersebutlah yang memacu saya untuk percaya dengan kemampuan diri sendiri, dan mulai mengubah pola berpikir saya untuk terus menambah ilmu, tidak apa-apa kalau salah, namanya juga belajar “tidak ada noda, ya tak belajar”.
Sampai saat ini saya masih merasa beruntung dengan student centered yang saya dapat dari semenjak SMA hingga saat ini, menurut saya dengan pola pengajaran seperti itu akan membantu saya nanti pada saat saya “terjun” ke dalam dunia kerja unutk terus mau berusaha dan tidak cepat puas dengan hasil yang kita dapatkan, karena semakin majunya zaman, semakin maju pula tehnologi, dan begitu pula dengan ilmu pengetahuan.
Hasil wawancara siswa SMU
Nama: Yafet
Kelas: 11 IPA 2
T : | Ee halo..ee saya Benita Bunga dari Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara, ee akan mewawancarai Anda sebentar, apakah Anda bersedia ? |
J : | Mmya. |
T : | Ee namanya siapa ya ? |
J : | Yafet. |
T : | Ee kelas berapa ? |
J : | Ee 2 Ipa 2. |
T : | 2 Ipa 2 ya..Ok, saya ingin ee bertanya sedikit tentang bagaimana gaya e gaya belajar mengajar di kelas Anda ya, ee di kelas Anda tu gimana sih gaya..gaya guru Anda mengajar ? |
J : | Kebanyakan guru tu ee mengajarnya tu kaku, udah gitu dia tu kebanyakan ngasih catatan dan apa ya..ee..ga..kayaknya kalo pembawaan dalam kelas tu ama di luar kelas itu beda..gitu. |
T : | Eh maksudnya gimana ya di luar dan di dalam kelas ? |
J : | Ya kalo dalam di luar kelas tu bisa kebanyakan bercanda, ya kebanyakan ngobrol tapi kalo di dalam kelas tu kaya jadi orang lainlah. |
T : | Apakah ee guru Anda memberi waktu untuk..memberi anda waktu untuk bertanya atau tidak, apa dia selalu menerangkan terus-menerus ? |
J : | Ya beberapa kali aja, kalo..kalo beberapa kali sih...tapi kebanyakan gak pernah ngasih kesempatan nanya sih, harus kita yang inisiatif sendiri. |
T : | Oh gitu ya, terus menurut Anda ee gaya bela..gaya mengajar guru Anda itu efektif tidak sih ? |
J : | Nggak. |
T : | Kenapa ? |
J : | Ya menurut saya aja gak efektif, gak enak sih soalnya. |
T : | Gitu ya. |
J : | Hmmm |
T : | Tidak dikasih..ee waktu un..tidak dikasih kesempatan untuk bertanya gitu ya ? |
J : | Iya. |
T : | Oke, terus menurut Anda sendiri ga e gaya belajar mengajar di dalam kelas yang enak itu seperti apa sih ? |
J : | Ya kebanyakan ngorbol, kebanyakan becanda deh biar bisa..yang bisa bikin murid-murid ketawa, kaya gitu. |
T : | Oh bukannya dengan kaya gitu malahan konsentrasi menjadi buyar ? |
J : | Ya nggak itu kan kaya..gimana ya..pribadi saya tu..sa saya tu paling gak suka orang-orang kaku, orang-orang yang..orang-orang yang terlalu serius di dalam belajar, kenapa sih belajar tu harus dibuat serius. |
T : | Oo malah..malah kalo terlalu serius gak bisa masuk gitu ya mas maksudnya. |
J : | Iya. |
T : | Oh gitu ya, jadi menurut Anda yang seperti itu tu efektif untuk Anda ? |
J : | Iya. |
T : | Malah ada interaksi dua arah gitu mungkin ya. |
J : | Hmm |
T : | Oke, terus ee menurut Anda gaya belajar mengajar di dalam kelas Anda itu menentukan prestasi Anda tidak sih ? |
J : | Hmm sejauh ini dengan ga..ee guru saya mengajar kayak gitu tu ee nilai saya naik turun jadi gimana ya.. saya..saya percaya lebih mentingin soal sih daripada apa.. ee guru-guru ngajarnya gimana. |
T : | Eh soal maksudnya ? |
J : | Ya kalo ulangan dikasih kasi kisi-kisi soal, daripada dia..daripada dia kebanyakan...mm apa...ngebacot ngajar depan tu mendingan..mendingan ki..mendingan dia tu kasih kita tu soal-soal yang lebih guna buat ulangan deh daripada ya kebanyakan..ya cerewet depan aja. |
T : | Oh gitu ya.. ee lalu apa sih yang Anda harapkan dari kegiatan mengajar di dalam kelas ini, di dalam kelas Anda ? |
J : | Ya..ulangin lagi dong |
T : | Ee yang Anda harapkan dari kegiatan belajar mengajar di dalam kelas Anda tu yang seperti apa yang Anda harapkan ? |
J : | Saya tu lebih suka...dulu kelas satu sebelum saya masuk IPA saya tu masih bisa ngobrol ama temen-temen, trus masih bisa keluyuran keluar kelas, kemana pun tu yah pokonya tu bener-bener di dalam kelas saya sendiri, tapi sekarang pas di kelas dua ini uda apalagi udah kelas dua IPA kayanya beda ama jurusan IPS yang eee yang masih, yang udah,,yang bisa keluar kelas, ngetawain kita dari luar kelas, yang istirahat kita itu terpotong gara-gara kebanyakan tugas, ya saya lebih milih jadi IPS daipada IPA deh sekarang. |
T : | Oh begitu ya, jadi yang Anda harapkan ni seperti apa ni, karena Anda kan sudah di IPA terus juga gaya mengajar guru-guru IPA yang Anda harapkan tu seperti apa ? |
J : | Ya...sedikit ngebebasin kita lah jangan terlalu...masa kita cuma ngobrol sedikit aja dihukum, potong nilai. Aduh..apa coba. |
T : | Hm begitu ya, terus ee apa sih yang Anda dapatnkan dari gaya mengajar guru Anda sekarang ? Setiap..setiap hal itu kan ada positif negatufnya, menurut Anda positifnya itu apa dari ee gaya mengajar guru Anda ini ? |
J : | Ya positifnya mau ga mau kita harus ngikutin dia dong..ngikutin dia bahwa kalo dia nerangin kita harus nyatat, kita harus itu..ya positifnya catatan saya lengkap tapi negatifnya ya..karna saya tu jiwanya tu terlalu be..terlalu kebanyakan becanda jadi kaya..situasi kaya gini tu bikin saya tu ga..gak ikhlas buat bikin tugas itu bukan..itu bukan kaya suatu kewajiban buat saya, jadi saya sering suruh teman saya bikin tugas saya. |
T : | Seperti Anda terlalu dikekang begitu ya ? |
J : | Ya..ya..ya..ya |
T : | Em untuk pertanyaan terakhir apakah terjadi interaksi yang baik antara Anda dan guru Anda saat ini ? |
J : | Mmm kebanyakan sih di luar kelas ya, semua..semua guru..semua guru tu kalo di luar kelas tu bener-bener udah kaya temen, tapi kalo di dalam kelas tu ya udah jadi kayak pribadi yang lain |
T : | Oh begitu ya, oke deh. Oke terima kasih buat waktunya Mas Yafet. |
J : | Hmm. |
Analisis hasil wawancara:
Berdasarkan wawancara dengan subyek, pewawancara menemukan bahwa subyek lebih menyukai student centered learning daripada teacher centered learning. Subyek merasa gaya belajar teacher centered learning kaku dan terlalu banyak memberikan catatan. Subyek lebih senang diberikan kisi-kisi soal yang berguna untuk latihan dan berdiskusi dengan teman daripada harus mendengarkan gurunya berbicara terus-menerus di depan kelas. Subyek juga mengharapkan guru kelas IPA dapat lebih santai dalam mengajar seperti dengan anak IPS yang terlihat lebih santai belajarnya.
REFLEKSI PADA MASA UNIVERSITAS
Belajar merupakan hak setiap orang, akan tetapi kegiatan belajar di suatu perguruan tinggi merupakan suatu hak istimewa karena hanya orang yang memenuhi syarat saja yang berhak belajar di lembaga pendidikan tinggi tersebut. Dengan kondisi tersebut, harapan adalah bahwa seorang yang telah mengalami proses belajar secara formal akan mempunyai wawasan, pengetahuan, keterampilan, kepribadian dan perilaku tertentu sesuai dengan apa yang ingin dituju oleh lembaga pendidikan. Tujuan lembaga tinggi pendidikan pada umumnya dikaitkan dengan tujuan pendidikan nasional. Yang perlu dicatat bahwa belajar merupakan kegiatan individual tertentu.
Suatu fakta angan-angan individual terhadap rencana karir ke depan merupakan motivasi belajar seseorang di perguruan tinggi dan merupakan suatu kebutuhan. Kebutuhan ini akhirnya menentukan sikap, perilaku dan pandangan belajar di perguruan tinggi yang merupakan suatu prospek penting dalam rencana karir seseorang dewasa ini. Ada dua tujuan yang terlibat dan saling menunjang dalam proses belajar mengajar di perguruan tinggi. Yang pertama adalah tujuan lembaga pendidikan dalam menyediakan sumber pengetahuan dan pengalaman belajar (knowledge and learning experience) yang kedua adalah tujuan individual mereka yang belajar (mahasiswa).
Proses belajar mengajar mestinya harus mampu menyelaraskan tujuan individual dan tujuan lembaga pendidikan dan bahkan tujuan pendidikan nasional. Dua hal di atas kadang-kadang tidak disadari benar baik oleh penyelenggara pendidikan maupun oleh mahasiswa. Tujuan pendidkan di antaranya adalah untuk menciptakan peserta didik yang berilmu, cakap dan kreatif. Untuk mewujudkan ketiga aspek ini salah satunya adalah dengan memberikan metode pembelajaran yang tepat. Adapun salah satu pendekatan dirasa tepat untuk mewujudkan ketiga hal tersebut adalah dengan pendekatan Student Centered Learning (SCL). Dengan prinsip dasar keaktifan dan kekreatifitasan dalam proses belajar mengajar, serta tidak lagi menjadikan dosen sebagai satu-satunya sumber ilmu; ini akan membuat mahasiswa semakin percaya diri untuk menjadi lebih aktif, kreatif dan berilmu.
Tetapi pada kenyataannya, pengajaran dalam mengajarkan mata pelajaran belum semua dosen sepenuhnya melaksanakan metode pembelajaran yang menuntut keaktifan mahasiswa. Dosen lebih cenderung menerapkan metode konvensional, di mana dosen adalah satu-satunya sumber ilmu atau disebut juga Teacher Centered Learning (TCL). Dalam metode ini dosen lebih kepada ceramah, mendikte, textbook, dan kemudian memberikan soal ujian.
Dalam pendekatan Student Centered Learning (SCL) mahasiswa dan dosen mempunyai kedudukan yang sama dalam akses terhadap pengetahuan. Dengan konsep ini, pengetahuan merupakan barang bebas, walaupun diperlukan biaya untuk memperolehnya. Dosen berbeda dengan mahasiswa karena wawasan dan pengalaman-pengalaman berharga yang dimilikinya yang berkaitan dengan pengetahuan tersebut.
Permasalahannya sekarang adalah apakah tujuan individual seseorang memasuki perguruan tinggi? Hal ini yang acap kali sulit diidentifikasi atau dirumuskan dengan jelas oleh mereka yang memutuskan untuk belajar di perguruan tinggi. Gejala yang sering dirasakan di Indonesia adalah belajar di perguruan tinggi lebih merupakan kebutuhan sosial orang lain (misalnya orang tua), akibatnya, belajar dianggap sebagai suatu beban dan penderitaan.
Benar bahwa pendekatan Student Centered Learning (SCL) paling tepat untuk mewujudkan peserta didik yang berilmu, cakap dan kreatif. Tetapi, bisa dikatakan perilaku belajar mahasiswa Indonesia menganggap kuliah merupakan sumber pengatahuan utama, bahkan satu-satunya, sehingga catatan kuliah dari dosen merupakan jimat yang ampuh.
Kebanyakan mahasiswa mempunyai perilaku untuk hanya datang, duduk,dengar dan catat. Catatan kuliah dianggap sumber pengetahuan dan bahkan kalau perlu mahasiswa tidak usah datang ke kuliah tetapi cukup dengan mengkopi saja catatan mahasiswa yang lain.
Karena pendekatan pengendalian proses belajar-mengajar di kelas yang kadang kurang mendukung, banyak mahasiswa yang merasa nyaman menjadi "mesin dengar kopi". Kalau tujuan individual akan dicapai secara efektif, arti kuliah harus diredifinisi dan dilaksanakan secara konsekuen oleh individu itu tersebut.
Ini adalah fakta budaya belajar di Indonesia. Sulit untuk mendeteksi mengapa ini sampai terjadi dan terus dilestarikan. Kemungkinan yang sangat logis adalah kurangnya kesiapan lembaga pendidikan, dosen dan mahasiswa untuk terus memberdayakan diri melalui bacaan, kuliah konvensional, sehingga terlihat tidak ada upaya dan usaha dalam self improvement. Ini merupakan tantangan untuk praktisi pendekatan Student Centered Learning (SCL). Karena perlu proses untuk perpindahan dari pendekatan Teacher Centered Learning (TCL) ke pendekatan Student Centered Learning (SCL).
DAFTAR PUSTAKA
Akmal, M. (2008). Membelajarkan siswa melalui pendekatan konstruktivisme. Diambil 23 November, 2008, dari http://202.33.84/index.php?option=com_content&task=view&id=15766&Itemid=46. Harsono. (2007). Kearifan dalam transformasi pembelajaran: dari teacher centered ke student centered learning. Diambil 23 November, 2008, dari http://www.google.co.id/search?hl=id&q=pembelajaran+learned+center&start=20&sa=N. Kirman, E. (2008). Menguak pentingnya model pembelajaran. Diambil 23 November, 2008, dari http://www.edubenchmark.com/menguak-pentingnya-model-pembelajaran.html. Pramono, M. (2007). Soft skill mahasiswa dengan maha. Diambil 23 November, 2008, dari www.belajar.usd.ac.id/createpdf2.php?id=2. Santrock, J. W. (2001). Educational psychology (International ed.). NY: McGraw-Hill. SMA Taruna Nusantara. (2006). Diambil 24 November, 2008, dari mgl.sch.id/id/index. php?option=com_content&task=view&id=154&Itemid=286. Woolfolk, A. E. (2004). Educational psychology (9th ed.). USA: Allyn and Bacon. |